RSS

ga ngurus !!!

 



“Mari kita tandatangani persetujuan ini.”
“Persetujuan apaan?”
“Pengurangan gas emisi karbon.”
“Untuk apa?”
“Ya, untuk mengurangi polusi, lah!”
“Polusi?”
“Jangan pura-pura tidak tahu, kau merasakannya sendiri, kan?”
“Lalu, apa hubungannya dengan tanda tangan?”
“Karena kita telah berbuat bayak kerusakan!”
“Kerusakan apaan maksudmu? Jangan hiperbolis dan mengada-ngadalah!”
“Ya itu! Kamu banyak memberi polusi ke udara kita bersama.”
“Lah, itu kan buat memakmurkan rakyatku!”
“Tapi rakyat negara lain semakin tidak makmur, alias terkena imbas pembangunan industrimu yang berlebihan! Udara jadi makin panas, hutan gundul dan wabah penyakit semakin banyak. Kutub semakin sempit dan keseimbangan dunia terancam!”
“Bodo amat, aku hanya mau makmur!”
“Kami juga mau makmur!”
“Ya sudah, ngapain saling urus? Kita punya jalan masing-masing, kan?”
“ Karena kau bagian dari kami, bego!”
“Sejak kapan? “
“…”
“Kapan?”
“Ya, sejak kita muncul dengan identitas masing-masing di bumi ini! Karena kita hidup berdampingan!”
Akh, persetan!”
“Huh, dasar negara sok besar, maunya menang sendiri.”
“Dasar negara miskin, sok mengurus segala hal dan cemburu!”
***

Lalu si negara-negara industri besar walk out dari kongres, dan polusi semakin merajalela akibat tingkahnya; cerobong asap yang tak berhenti mengepul.
Oh, betapa kau tak pernah tahu panas malam ini, karena kau asik menyalakan ac di kamar tidurmu. Betapa kau tak pernah tahu hutan kami gundul, karena kau sibuk cebok dengan tissue dari pohon hutan kami yang kalian tebang ilegal.  Betapa kau tidak pernah mengerti , betapa kau egois dan betapa menderitanya kami gara-gara kamu.
Lalu negara-negara besar lainnya cuek dan kita bersama-sama menyongsong neraka akibat matahari yang semakin tak terhalang menuju rumah-ruamah kita. Dan kelak, anak cucu kita akan memaki, karena kita tak mewariskan apa-apa pada mereka selain kekeringan dan panas yang tak kunjung reda.
“Hmmmm…!”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

aroma kebahagiaan

Saat aku bangun sore tadi, aku mendengar bisik-bisik dari salah satu buku yang tergeletak di samping tempat tidur. Atau lebih tepatnya keluhan. Masih dengan mata setengah terpejam aku menggapai buku itu. Ternyata kamus. Dari dalam kamus ungu yang kubeli loakan di shoping center itu keluhan-keluhan ramai bersahutan. Ada apa ini?

Tanpa pikir panjang kubuka kamus itu dan kata-kata dalam kamus langsung berhamburan menimpa wajahku. Mereka mulai mencakar, menggigit, menjambak rambutku. Kukira aku sedang bermimpi. Tapi sebelum aku cukup sadar untuk memahami apa yang tengah kualami, mereka berkumpul di atas kepalaku. Setiap kata itu mengenggam sehelai rambutku.

Lalu dalam tarikan yang membuat kepalaku nyaris copot, mereka, kata-kata yang sedang marah ini menyeretku. Menembus dinding kamar. Menggelinding di tangga. Menabrak tetangga kosku yang tengah memeluk seember cuciannya. Membuatnya terjengkang dan ikut berguling bersamaku, di antara kata-kata dan pakaian kotor. Kami berdua pun menghantam lantai di ujung tangga.

Sementara tetanggaku itu mencoba berdiri dan mengumpat, kata-kata ini masih saja menyeretku. Ke halaman belakang. Menyeretku di atas teras belakang yang masih berselimut abu. “apa salahku?” teriakku setengah memohon pada kata-kata yang marah itu.
“Akan kami tunjukkan apa kesalahanmu!” salah satu kata yang menggenggam rambut di dekat telingaku berujar dengki.
Ini mimpi! Aku ingin bangun sekarang, batinku. Tapi tubuhku masih saja diseret di halaman belakang. Di atas rerumput basah. Kucoba menggapai semak atau pepohonan, tapi semak-semak dan pepohonan itu berjengit dan menjauh dari ujung jariku.
Tiba-tiba kata-kata itu melepas cengkeramannya. Terdengar suara benda berat digeser. Aku mendongak untuk melihat apa yang tengah terjadi. Ternyata kata-kata itu, jutaan banyaknya, tengah menggeser beton bundar penutup sumur di belakang kosku.
Oh tidak! Banyak cerita mengerikan mengenai sumur ini. Dan sekarang aku berbaring di dekatnya bersama kata-kata yang marah? Aku melompat bangun. Tapi mereka lebih cepat. Kata-kata itu melilit kakiku. Seperti sulur-sulur hitam yang lapar mereka menyeretku ke dalam sumur dan….
Aku terhempas di atas permukaan putih yang lembut. Aroma yang sangat akrab menelusup ke hidungku. Aroma tinta dan kertas kosong. Di sekelilingku, kata-kata itu berdiri berkacak pinggang. “sekarang kamu tahu apa salahmu, kan?” tanya si kata yang paling besar dan sepertinya pemimpin di antara mereka. Ku baca kata itu, ‘disiplin’. Di belakangnya, kata yang lebih kecil melihatku takut-takut.
Aku mengangguk ke arah si ‘disiplin’ itu. kemudian udara di sekitarku mulai menghangat. Kata-kata itu mulai meleleh dan mereka mengalir ke botol tinta di dekatku. Aromanya semakin menguar. Aroma tinta. Aroma kertas kosong. Aroma kebahagiaan.




.
*ilustrasinya ga nyambung, ga apa deh. yang penting ga kosong.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments